Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله تعالى
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.
Lihatlah kepada orang-orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah kalian melihat kepada orang-orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih patut bagi kalian, supaya kalian tidak meremehkan nikmat Allâh yang telah dianugerahkan kepada kalian.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6490); Muslim (no. 2963 (9)), dan ini lafazhnya; At-Tirmidzi (no. 2513); Dan Ibnu Majah (no. 4142).
KOSA KATA HADITS
• أَسْفَلَ مِنْكُمْ : Orang yang lebih rendah dari pada kalian dalam hal dunia.
• أَجْدَرُ : Lebih patut, lebih layak.
• تَزْدَرُوْا = تَحْتَقِرُوْا : Mengecilkan dan meremehkan.[1]
SYARAH HADITS
Alangkah agungnya wasiat ini dan alangkah besar manfaatnya, kalimat yang menentramkan dan menenangkan. Hadits ini menunjukkan anjuran untuk bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan mengakui nikmat-nikmat-Nya, membicarakannya, mentaati Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan melakukan semua sebab yang dapat membantu kita bersyukur kepada-Nya.
Syukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah inti ibadah, pokok kebaikan, dan merupakan hal yang paling wajib atas manusia. Karena tidak ada pada diri seorang hamba dari nikmat yang tampak maupun tersembunyi, yang khusus maupun umum, melainkan berasal dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [An-Nahl/16:53]
Allâh Azza wa Jalla memberikan berbagai kebaikan dan menolak kejahatan dan keburukan. Oleh karena itu, seorang hamba harus benar-benar bersyukur kepada-Nya. Hendaknya seorang hamba berusaha dengan segala cara yang dapat mengantarnya dan membantunya untuk bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. [Al-Baqarah/2:152]
Dan firman-Nya :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. [Ibrâhîm/14:7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, telah menunjukkan obat dan faktor yang sangat kuat agar seseorang bisa mensyukuri nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yaitu hendaknya setiap hamba memperhatikan orang yang lebih rendah darinya dalam hal akal, nasab, harta, dan nikmat-nikmat lainnya. Jika seorang terus-menerus melakukan ini, maka ini akan menuntunnya untuk banyak bersyukur kepada Rabb-nya serta menyanjung-Nya. Karena dia selalu melihat orang-orang yang keadaannya jauh berada di bawahnya dalam hal-hal tersebut. Banyak di antara mereka itu berharap bisa sampai –atau minimal mendekati- apa yang telah diberikan padanya dari nikmat kesehatan, harta, rezeki, fisik, maupun akhlak. Kemudian dia akan banyak memuji Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telahmemberinya banyak karunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, "Apabila seseorang melihat orang yang terkena musibah, kemudian ia mengucapkan:
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً
Segala puji bagi Allâh yang menyelamatkan aku dari musibah yang Allâh timpakan kepadamu. Dan Allâh telah memberi keutamaan kepadaku melebihi orang banyak.’
Maka musibah itu tidak akan menimpa dia.”[2]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, "Barangsiapa melihat seseorang yang terkena cobaan, lalu mengucapkan :
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً
Segala puji bagi Allâh yang telah menghindarkan aku dari apa yang Dia timpakan kepadamu dan Dia melebihkanku atas kebanyakan manusia dengan kelebihan yang banyak
Niscaya dia akan benar-benar terhindar dari cobaan tersebut dalam keadaan apapun, selama dia hidup.”[3]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya," Barangsiapa tiba-tiba berjumpa dengan orang yang terkena cobaan, lalu mengucapkan :
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً ، عُوْفِيَ مِنْ ذَلِكَ الْبَلاَءِ كَائِنًا مَا كَانَ.
Segala puji bagi Allâh yang telah menghindarkan aku dari apa yang Dia timpakan kepadamu dan Dia melebihkanku atas kebanyakan manusia dengan kelebihan yang banyak
Niscaya dia akan benar-benar terhindar dari cobaan tersebut dalam keadaan apapun.”[4]
Jika seseorang akan melihat banyak orang yang kurang akalnya, maka dia memuji Rabb-nya atas kesempurnaan akalnya. Begitu pula dia menyaksikan banyak orang tidak memiliki persediaan makanan, tidak memiliki tempat tinggal untuk bernaung, sementara dia dalam keadaan tenang di tempatnya dan diberi kelapangan rezeki.
Seseorang akan melihat pula banyak orang yang diberi cobaan dengan berbagai penyakit, sementara dia diselamatkan dari semua itu dan senantiasa dalam kondisi ‘âfiah (sehat). Dia juga menyaksikan sejumlah orang diberi bencana lebih besar daripada itu, berupa penyimpangan dalam agama dan terjerumus dalam maksiat, sementara Allâh Subhanahu wa Ta’ala memeliharanya dari hal-hal tersebut, dan dari hal-hal lainnya.
Dia juga memperhatikan banyak manusia yang diliputi kegundahan, kesedihan, dan was-was, serta kesempitan dada. Lalu dia melihat keadaannya yang terbebas dari penyakit ini, mendapat karunia Allâh Subhanahu wa Ta’ala berupa ketentraman hati, hingga mungkin orang fakir yang mendapat kelebihan nikmat ini, -yakni merasa qanâ’ah (merasa cukup) dan ketentraman hati- lebih banyak dari orang-orang kaya.
Kemudian barangsiapa yang diberi cobaan dengan perkara-perkara tersebut, lalu dia mendapati banyak manusia mengalami musibah yang lebih besar dan lebih berat darinya, maka dia memuji Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas ringannya cobaan (yang diberikan kepadanya). Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu perkara yang tak disenangi melainkan ada yang lebih besar darinya.
Barangsiapa diberi taufik mendapatkan hidayah kepada apa yang diarahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka rasa syukurnya akan senantiasa kuat dan tumbuh, dan nikmat-nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa turun kepadanya dengan berkesinambungan dan terus-menerus.
Adapun orang yang berlawanan (dengan yang disebutkan di atas), pandangannya ke atas dan melihat kepada orang di atasnya, baik dalam hal kesehatan, harta, rezeki, dan segala hal yang berkaitan dengannya, maka sudah pasti dia akan mengingkari nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala serta tidak bisa bersyukur. Di saat kesyukuran hilang dari diri seseorang, maka hilang pula darinya nikmat-nikmat. Saat itu, bencana akan silih berganti menghampirinya, dia akan merasa gelisah terus menerus, selalu sedih, murka terhadap orang-orang yang mendapat kebaikan, serta tidak ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang Maha Pengatur. Maka inilah bencana dalam agama dan dunia serta kerugian yang nyata.
Ketahuilah, barangsiapa yang memperhatikan nikmat-nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala berlimpah, mengetahui yang lahir dan batin, dan menyadari bahwa itu semua hanyalah semata-mata karunia dan kebaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka tentu dia akan sangat bersyukur kepada-Nya. Satu jenis nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala saja, dia tidak akan mampu menghitung dan menilainya, apalagi semua jenisnya. Misalnya, nikmat mata yang sehat, akal jernih, telinga yang berfungsi normal, air, udara, oksigen, dan lainnya. Jika ini disadari, maka dia harusnya mengakui secara sempurna nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla tersebut, banyak memuji-Nya, dan malu kepada Rabb-nya untuk meminta dan melakukan sesuatu yang tidak dicintai dan tidak diridhai Allâh Azza wa Jalla . Rasa malu terhadap Rabb-nya ini, termasuk cabang keimanan yang paling utama. Dia malu kepada Allâh Azza wa Jalla jika Allâh Azza wa Jalla melihatnya berbuat sesuatu yang terlarang atau tidak melakukan apa yang diperintah-Nya. Dengan demikian, dia telah bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah Allâh dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , syukur yang paling besar adalah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , dan larangan yang paling besar adalah syirik. Kita wajib mengikhlaskan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.
Oleh karena syukur merupakan inti kebaikan dan tandanya, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
إِنِّيْ لَأُحِبُّكَ ، لاَ تَدَعَنَّ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُوْلُ: اَللّٰهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
Sungguh aku mencintaimu, janganlah engkau tinggalkan di akhir (setelah selesai) setiap shalat untuk mengucapkan ; ‘Ya Allâh, tolonglah aku untuk berdzikir (selalu ingat) kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, serta memperbaiki ibadah kepada-Mu’.”[5]
Sungguh, banyak orang-orang yang selalu bersyukur mengakui kelemahannya dalam mensyukuri nikmat Allâh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
... لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
“… Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.”[6]
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang pandai bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
FAIDAH-FAIDAH HADITS.
1. Anjuran melihat keadaan orang yang berada di bawah kita dalam hal dunia, dan melihat kepada keadaan orang di atas kita dalam hal agama.
2. Melihat kepada yang di atas kita dalam hal dunia akan mengakibatkan seseorang tidak bersyukur atas nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya, selalu mengeluh, dan bersedih.
3. Melihat kepada di atas kita dalam hal agama akan mengakibatkan seseorang terpacu untuk selalu meningkatkan kualitas ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
4. Anjuran zuhud terhadap kehidupan dunia.
5. Seorang Mukmin hendaknya menjadikan dunia ini di tangannya dan tidak di dalam hatinya.
6. Larangan meremehkan nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada kita.
7. Seorang Mukmin wajib bersyukur atas nikmat yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada dia.
8. Bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-Nya.
9. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita dapat bersyukur kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
10. Keindahan Islam yang telah mengatur semua kehidupan manusia.
MARAJI.
1. Shahîh al-Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Sunan at-Tirmidzi
4. Sunan Ibnu Mâjah
5. Irwâ-ul Ghalîl
6. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah
7. Bahjah Qulûbil Abrâr wa Qurrotu ‘Uyûnil Akhyâr fii Syarhi Jawâmi’il Akhbâr, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
8. Bahjatunn Nâzhirîn Syarh Riyâdhis Shâlihîn
9. Nuzhatul Muttaqîn syarh Riyâdhis Shâlihîn
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Nuzhatul Muttaqîn Syarh Riyâdhis Shâlihîn (hlm. 353).
[2]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3432) dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah (no. 602).
[3]. Hasan: HR. at-Tirmidzi (no. 3431) dari sahabat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu.
[4]. Hasan: HR. Ibnu Majah (no. 3892) dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[5]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ-i (III/53), Ahmad
(V/245), dan al-Hâkim (I/273 dan III/273) dan dishahihkannya, juga disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullah.
[6]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1427), at-Tirmidzi (no. 3566), Ibnu Mâjah (no. 1179), an-Nasâ-i (III/249), dan Ahmad (I/98, 118, 150). Lihat Irwâ-ul Ghalîl (II/175).
sumber : http://almanhaj.or.id/