Thawaf wada' tidak wajib dalam umrah, tapi melakukannya lebih utama. Jika seseorang meninggalkan Mekkah setelah umrah dan tidak thawaf wada', maka ia tidak berdosa. Adapun thawaf wada' dalam haji maka hukumnya wajib. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah". Pembicaraan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang haji. Dan bagi orang yang haji boleh membeli sesuatu yang dibutuhkananya setelah thawaf wada' meskipun untuk membeli barang dagangan selama waktunya pendek dan tidak lama. Adapun jika waktunya lama, maka dia harus mengulang thawaf wada'. Tapi jika tidak lama menurut standars umum, maka tidak wajib mengulangi thawaf wada' secara mutlak. 
 erdapat riwayat shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. "Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah". Dan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, ia berkata. "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan manusia (yang haji) agar akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah. Tetapi beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh". Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf ketika selesai dari semua amal hajinya dalam waji wada' ketika akan pulang ke Madinah, dan beliau bersabda : "Ambilah dariku manasik hajimu". Beberapa hadits tersebut menunjukkan wajibnya thawaf wada' kecuali bagi wanita yang sedang haidh dan nifas.M 
Thawaf wada adalah akhir dari semua rangkaian ibadah haji. Maka jika seseorang telah thawaf wada' hendaknya berusaha berhenti di Multazam seraya berdo'a dengan apa yang dapat dilakukan dan memohon kepada Allah agar dikaruniai-Nya dapat kembali ke Baitullah dan berharap agar ibadah haji yang dilakukannya bukan sebagai akhir kedatangannya di Mekkah, Kemudian dia keluar dengan cara yang wajar dan tidak dengan berjalan mundur membelakangi Ka'bah, tapi berjalan bisa dengan menjadikan Ka'bah pada arah belakangnya. Kemudian setelah dia pulang. Jika dia berhenti lama, seperti setengah jam karena tidak ada keperluan penting maka dia harus mengulangi thawaf wada'. Jika seseorang melakukan jual beli atau pekerjaan yang menunjukkan dia ingin muqim, maka dia harus mengulangi thawaf wada'.


 Rabu, 21 Desember 2005 06:21:40 WIB
 Kategori : Fiqih : Haji & Umrah 

 Boleh mendahulukan thawaf dan sa'i haji sebelum melontar jumrah, tapi tidak boleh melakukan thawaf ifadhah sebelum wukuf di Arafah atau sebelum tengah malam Idul Adha. Namun jika seseorang bertolak dari Arafah dan singgah di Muzdalifah pada malam Idul Adha maka dia boleh thawaf dan sa'i pada paruh kedua malam Idul Adha atau pada hari Idul Adha sebelum melontar jumrah. Sebab dalam hadits disebutkan. "Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata : 'Saya thawaf ifadhah sebelum melontar ?' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Tidak mengapa'. Dan jika seseorang meninggalkan Muzdalifah pada hari Idul Adha atau pada akhir malam Idul Adha seperti kaum wanita dan yang seperti mereka, maka mereka boleh memulai thawaf jika wanita tidak haidh sebelum thawaf ifadhah. 
  

 Yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa'i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka'at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka'at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat. 
   
Seseorang lelaki yang bersentuhan kulit wanita ketika thawaf atau dalam keadaan berdesak-desakan di tempat manapun, maka tidak membatalkan thawafnya dan juga tidak membatalkan wudhunya menurut pendapat yang paling shahih dari beberapa pendapat para ulama. Di mana ulama berselisih dalam beberapa pendapat, apakah menyentuh kulit wanita yang bukan mahramnya membatalkan wudhu atau tidak .? Pertama, membatalkan wudhu secara mutlak. Kedua, tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ketiga, membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan syahwat. Adapun pendapat yang paling kuat dan benar dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa menyentuh kulit wanita yang bukan mahramnya tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Jika seorang lelaki menyentuh kulit atau mencium istrinya maka tidak batal wudhunya.